Rabu, 29 Agustus 2012

KELUARGA KRISTEN DAN TANTANGANNYA
  Dalam tatanan sosial kemasyarakaan, istilah keluarga biasa digunakan untuk menunjukkan unit atau institusi terkecil dalam masyarakat, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah (nuclear family). Namun kadang-kadang istilah keluarga juga digunakan untuk menunjukkan unit sosial yang lebih luas lagi, tidak terbatas pada ayah, ibu dan anak, tetapi juga mencakup; kakek – nenek, paman - bibi keponakan dan sanak keluarga lainnya (extended family). Karena itu dalam tulisan yang sederhana ini baiklah kita batasi, bahwa keluarga yang dimaksud adalah yang terdiri dari ayah, ibu dan anak (nuclear family). Keluarga sebagai unit sosial terkecil mempunyai peranan yang sangat menentukan. Boleh dikatakan sejahtera atau tidaknya suatu masyarakat, tergantung pada sejahtera tidaknya keluarga-keluarga yang ada dalam masyarakat tersebut. Lagi pula keluarga mempunyai panggilan yang luhur yaitu menyediakan tempat dan suasana cintakasih yang timbal balik antara suami dan istri, antara orang tua dan anak, sehingga setiap anggota keluarga dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa. Dalam realitasnya sudahkah keluarga-keluarga dalam masyarkat kita menikmati kesejahteraan, baik jasmani maupun rohani? Mungkin kita akan segera menjawab “belum” karena masih banyak keluarga yang miskin sehingga mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan kebutuhan pokok, baik dalam hal makanan., perumahan maupun dalam hal kesehatan dan pendidikan Demikian pula dengan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan (keluarga), mengalami banyak goncangan yang disebabkan oleh banyak masalahyangti- mbul dalam perkawinan itu, sehingga banyak keluarga yang retak atau bahkan berantakan karena perceraian (broken home). Karena begitu banyaknya persoalan yang dihadapi keluarga, maka marilah kita lihat beberapa kontribusi pemikiran tentang landasan mendasar sebuah keluarga dalam perspektif iman Kristen agar keluarga itu dapat menghadapi tantangan yang ada. A. Cinta Sebagai Dasar Pernikahan Dalam Membentuk Keluarga Dalam Alkitab kita melihat bahwa pernikahan Kristen yang merupakan cikal bakal sebuah keluarga, merupakan suatu peraturan yang ditetapkan oleh Allah. Pernikahan adalah tata tertib suci yang di terapkan oleh Allah, sang khalik, Dasar Alkitabiahnya kita temukan dalam Kejadian 2:24, “ Seorang la.ki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging". Tentu agar pernikahan, itu langgeng dan bahagia haruslah memiliki dasar saling mencintai. Cinta yang dimaksud bukanlah cinta buta, cinta monyet, cinta kilat atau cinta yang lain. Tetapi dengan meminjam istiiah para filsuf Yunani yang menggunakan beberapa istilah untuk menyatakan perasaan cinta. Istilah “eros" dipakai untuk menunjukkan pengertian cinta yang menyangkut daya tarik seksual (Cinta asmara). Eros mendapat perwujudan konkritnya dalam rasa ketertarikan jasmaniah (tergila gila), sentuhan, pelukan dan sebagainya, yang pada akhirnya memuncak dalam persetubuhan. Istilah "philia" di gunakan untuk menunjukkan pengertian cinta persahabatan dimana kedua belah pihak saling menyukai karena persahabatan. Kasih philia ini terwujud dalam rasa simpati, keakraban, senang melakukan sesuatu secara bersama-sama atau senang bila berdekatan entah hanya ngomong ngomong atau bercenda gurau. Istalah “storge” adalah kasih karena pertalian darah. Sedangkan istilah "agape” dipakai untuk menunjukkan pengertian cinta kasih kepada sesama manusia. Agape mendapat bentuk konkritnya dalam saling tolong menolong, saling memaafkan, saling menghargai dan saling menerima kelemahan dan kelebihan masing masing, Kasih Agape ini berasal dari Tuhan, yang hanya dapat dimiliki dan diungkapkan oleh seseorang yang telah menghayati kasih Tuhan terlebih dahulu. Dengan memperhatikan istilah-istilah tadi maka dapatlah kita simpulkan bahwa dasar-dasar, sebuah pernikahan keluarga Kristen haruslah kasih (cinta) agape. Sebab acap kali dalam sebuah keluarga dibutuhkan saling memaafkan, saling menerima dan saling mengampuni dan daya mengampuni itu hanya kita temukan dalam kasih Agape yang tenvujud dalam diri Yesus Kristus. B. Tantangan Keluarga Oleh Karena RohModernisasi Peradaban modern dengan industrialisasinya, membawa banyak perubahan bagi keluarga. Tentu keluarga Kristen termasuk didalamnya. Pertama tama karena modernisasi juga terjadi pergeseran dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Dalam masyarakat agraris hubungan kekekrabatan keluarga sangat erat sekali, sebab keluarga merupakan keluarga besar (extended family). Tinggal dalam satu rumah bersama, mencari makan bersama dan dimakan bersama. Sedang dalam masyarakat industri keluarga hanya berarti ayah, ibu dan anak yang belum menikah (nuclear family). Mereka harus bertanggung jawab atas keluarganya sendiri sendiri. Karena pola kehidupan berubah, maka dengan sendirinya peranan masing masing anggota keluarga juga mengalami perubahan. Dalam masyarakat agraris peranan ayah sangat dominan, istri hanya sebagai pembantu dan anak-anak adalah obyek yang harus tunduk sepenuhnya kepada ayah. Dalam masyarakat industri, karena ada kemajuan dibidang pendidikan, maka istri tidak lagi hanya sebagai pembantu, tetapi sebagai partner. Demikian juga hubungan orang tua dan anak sudah menjadi lebih demokratis. Tetapi seiring dengan itu, salah satu sisi negatif dari modernisasi adalah: mengagungkan individualisme dan sekularisme. "Aku" dan “kebutuhan materialnya" merupakan pusat dari segala atau boleh dikatakan sebagai nilai tertinggi, sehingga Tuhan dan sesama manusia kurang mendapat tempat. Maka keberhasilan hidup sesesorang tidak diukur dan bagaimana ia mewujudkan nilai-nilai ke-Kristenan dan nilai nilai kemanusiaan dalam hidup sehari hari, tetapi diukur dari pangkal, kekayaan dan harta benda. Pandangan semacam ini membuat orang cenderung berlomba mencari keuntungan yang sebesar-besarnya demi pengumpulan harta benda, bahkan. tidak jarang menjadi serakah, sebab yang terpenting adalah hasil yang dicapai. Nilai-nilai lain dikesampingkan, termasuk nilai ke-Kristenan. Karena Tuhan dikesampingkan maka penghayatan imanpun semakin mengendor. Ini terlihat dan slogan yang sering kita dengar (awalnya slogan ini adalah dari barat) apa saja boleh dilakukan asal itu baik bagimu dan menyenangkan bagimu (ethic of permissveness). Kecenderungan ini menjadi nyata dalam kritik-kritik terhadap struktur perkawinan dan keluarga. Maka muncullah perkawinan kelompok, perkawinan homo seks dan lesbian, perkawinan percobaan atau kumpul kebo, pertukaran pasangan, hubungan seks bebas diluar pernikahan, meningkatnya perceraian dan lain sebagainya. Semua ini mempunyai dampak langsung dalam kehidupan keluarga, sehingga keluarga mengalami banyak kesulitan dalam memenuhi panggilannya yang luhur. Kesulitan tidak hanya di jumpai dalam hubungan suami istri saja, tetapi juga dalam mendidik anak. Zaman dulu norma-norma jelas, sekarang ini dengan banyaknya informasi dari media masa, perilaku mana yang boleh dan tidak menjadi relatif. Pendek kata sekarang ini perkawinan dan keluarga sedang mengalami guncangan sebagai akibat dan perbenturan antara nilai nilai lama dengan nilai nilai yang datang dengan teknologi modern. Maka untuk menyikapi hal yang demikian setiap keluarga Kristen harus kembali kepemahaman Alkitab tentang keluarga (back to the bibie). C. Keluarga Sebagai Persekutuan Yang Hidup Dalam Alkitab jelas Tuhan menghendaki bahwa keluarga itu harus menjadi persekutuan yang hidup. Dalam kitab Ulangan (Ul 6: 6-1 0), sangat jelas dikatakan bahwa keluarga adalah sebagai pusat pengajaran apa yang diimani. Disana tidak ada dikatakan bahwa tugas mengajar dan mengasuh adalah tugas ibu, tetapi mengajarkan apa yang di imani (dalam hal ini iman Kristen) ini adalah menjadi tugas bersama dan kedua orang tua. Tanpa memberikan benteng yang kuat (pembekalan iman) di tengah-tengah keluarga, maka besar kemungkinan anggota keluarga itu bisa terseret kepada arus negatif dari modernisasi Ada bebberapa hal yang tidak boleh hilang dari keluarga Kristen dalam situasi yang bagaimanapun antara lain : 
1.Kasih Kasih yang dimaksud adalah kasih agape yang bersumber dari Allah sendiri. Kasih ini sesuatu yang mutlak ada (tidak boleh ditawar-tawar) melebihi hal-hal yang lain. Sumbernya hanya satu yakni dari Yesus Kristus sendiri (Yoh 14:27). Kasih inilah yang memungkinkan suami dan istri dan semua anggota keluarga mampu memikul tanggung jawab yang berat, saling berbagi, saling menolong, saling menegur dengan lemah lembut, saling menopang dan saling mengampuni, Sebab acapkaili dibutuhkan pengampunan dalam sebuah keluarga. 
2.Kesetiaan Ini juga merupakan kebajikan yang utama. Kesetiaan merupakan kemauan atau kesediaan semua pihak dalam keluarga untuk membina tali persaudaraan yang rukun, sehingga tidak terputus oleh alasan apapun. Dalam tiap tiap kelurga pasti ada pencobaan, masalah dan pergumulan. Maka jika tidak di topang oleh kesetiaan bisa saja kelurga itu tercerai berai. Meneladani kesetiaan Yesus Kristus kepada Bapa demikianlah setiap anggota keluarga hidup dalam kesetiaan. 
3.Hormat Hormat artinya. saling menghargai satu dengan yang lain. Hormat berarti memandang tiap anggota keluarga sebagai anugerah Tuhan yang harus disyukuri. Hormat berarti, saling mengakui bahwa pasangan suami istri dan anak anak memiliki kelemahan. dan kekurangan masing-masing. Menyadari bahwa manusia tidak akan ada yang sempurna, sehingga tidak ada yang menjadi angkuh, sombong, tinggi hati dan mengagungkan superioritasnya. Kita, sama sama orang berdosa dan lemah di hadapan Allah. Tidak boleh tidak, siapapun dan bagaimanapun kehebatan seseorang mengatur keluarga, selalu ada saja persoalan yang timbul dalam keluarga. Itulah dinamika keluarga. Namun yang menjadi persoalan adalah: bagaimana kita menghadapi setiap persoalan keluarga itu. Haruskah kita 'pecah kongsi’ andaikata dalam keluarga ada persoalan yang pelik? Tuhanlah yang menjadi landasan keluarga, tidak ada satu lembagapun di dunia yang dapat menceraiberaikan keluarga itu. Dan tujuan akhir keluarga bukanlah harta tetapi adalah damai sejahtera (bnd, Mazmur 133:1). Dan ingatlah: Lebih baik sekerat roti yang kering, disertai ketentraman, daripada makan daging serumah disertai dengan perbantahan (Amsal 17 : 1).